Dilansir dari Laman Media Suara Demokrasi – Mafia BBM,7 Oktober 2025,
Vibrasi News.com Menyampaikan:
Refleksi Hukum Penyalahgunaan Subsidi dan Ketimpangan Keadilan
Foto: Ilustrasi Refleksi Hukum Penyalahgunaan Subsidi BBM dan Ketimpangan Keadilan, APH tutup mata.
SUMENEP, 8 Oktober 2025|Vibrasinews.com –
Sudah delapan dekade Indonesia merdeka, namun makna sejati kemerdekaan bagi rakyat kecil tampaknya masih menjadi mimpi yang jauh dari kenyataan. Dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia yang berdasarkan rule of law (negara hukum), rakyat semestinya menjadi subjek utama yang dilindungi oleh negara. Akan tetapi, realitas sosial menunjukkan bahwa kemerdekaan dan kesejahteraan justru hanya dirasakan oleh segelintir elit politik dan pejabat pemerintah yang kerap menyalahgunakan kewenangannya.
Rakyat yang seharusnya menjadi pemegang kedaulatan tertinggi sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, justru masih menjadi objek eksploitasi kebijakan. Rakyat diwajibkan membayar pajak, berkontribusi terhadap pembangunan nasional, namun hak-haknya sering diabaikan oleh para penyelenggara negara yang telah mengingkari sumpah jabatan, demi untuk melindungi mafia.
Salah satu potret nyata dari pengkhianatan amanat konstitusi adalah penyalahgunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi dan Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS), serta bansos lainnya. Program subsidi yang sejatinya untuk masyarakat miskin dan kelompok rentan agar dapat hidup layak dan menjalankan kegiatan ekonomi secara produktif. Namun fakta menunjukkan sebaliknya: terjadi praktik korupsi, nepotisme, dan penyalahgunaan kewenangan telah merusak tatanan distribusi bantuan tersebut.
Pembiaran mafia yang merampok subsidi BBM dan program BSPS di Sumenep, jelas melanggar prinsip good governance yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Dalam Pasal 3 UU tersebut ditegaskan bahwa penyelenggara negara wajib melaksanakan asas akuntabilitas, keterbukaan, dan kepentingan umum. Namun di Kabupaten Sumenep khusus nya dan Wilayah Provinsi dan Kota Kota Lain di Wilayah Seluruh Indonesia, Kejadian yang sama.
justru menunjukkan bahwa oknum pejabat publik dan APH kerap menutup mata terhadap mafia BBM.
Lebih jauh lagi, tindakan penyalahgunaan subsidi BBM dan BSPS dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 3 menyebutkan bahwa “setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara paling lama 20 tahun.”
Dengan demikian, jika oknum aparat dan pejabat terlibat dalam jaringan mafia BBM, maka tindakan mereka merupakan kejahatan serius yang tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga mengkhianati nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial.
BBM Bersubsidi hak rakyat justru menjadi komoditas Mafia. Fenomena penyalahgunaan distribusi BBM semakin memperlihatkan ketimpangan hukum dan lemahnya pengawasan. Di Sumenep, praktik pengisian solar bersubsidi ke dalam jerigen dengan kapasitas 20 ton yang diangkut kapal kayu tanpa ijin usaha justru dibiarkan begitu saja. Padahal, menurut Pasal 55 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, setiap orang yang melakukan penyalahgunaan pengangkutan dan/atau niaga BBM bersubsidi dapat dipidana dengan penjara paling lama 6 tahun dan denda maksimal Rp60 miliar.
Ironisnya, banyak oknum aparat dan pejabat pemerintah yang terlibat untuk melancarkan usahanya. Mereka justru dengan bebas memberikan rekom milik nelayan kepada para mafia untuk mendapatkan BBM bersubsidi, sedangkan petugas kepolisian lebih memilih diam, bahkan ada yang diduga diam-diam menerima setoran, akibatnya rakyat kecil kesulitan membeli solar di SPBU/SPBN.
Di kepulauan dan desa terpencil, para nelayan dan Pemilik Kendaraan Umum diwilayah wilayah seluruh Indonesia juga harus membeli solar dari pengecer dengan harga tinggi agar bisa melaut mencari nafkah. Sedangkan para mafia BBM bebas memperjual belikan BBM kembali dengan harga lebih tinggi dari HET. Hal itu memunculkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum yang diam.
Dalam negara hukum, aparat penegak hukum merupakan penjaga moral konstitusi. Akan tetapi, ketika oknum aparat bermain dalam praktik pelanggaran hukum, maka negara kehilangan wajah keadilannya ketika hukum tidak tegas kepada mafia BBM. Hal ini menjadi refleksi serius terhadap implementasi asas equality before the law yang dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.
dikompromikan oleh oknum aparat dan pejabat yang seharusnya melindunginya? Situasi ini menunjukkan adanya krisis kepercayaan publik terhadap institusi hukum dan pemerintahan. Bila dibiarkan, maka yang lahir bukan lagi negara hukum, melainkan negara kekuasaan — di mana hukum tunduk pada kepentingan elit dan uang.
Dalam konteks ini, penegakan hukum bukan hanya kewajiban yuridis, tetapi juga moral dan konstitusional. Negara melalui aparat penegak hukum wajib menindak tegas setiap pelanggaran penyalahgunaan subsidi tanpa pandang bulu. Jaksa, polisi, dan pengawas internal pemerintahan harus menunjukkan keberpihakan pada rakyat, bukan melindungi mafia BBM.
Selain itu, penguatan transparansi publik menjadi keharusan. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik memberi hak kepada rakyat untuk mengetahui penggunaan rekom, termasuk distribusi subsidi dan bantuan sosial. Rakyat dan pers harus diberikan ruang untuk mengawasi dan mengkritisi kebijakan pemerintah tanpa diintimidasi.
Rakyat Indonesia tidak meminta lebih selain keadilan yang nyata. Negara wajib hadir untuk menegakkan hukum, melindungi hak rakyat, dan memastikan bahwa subsidi serta program bantuan benar-benar sampai pada yang berhak. Sebab, selama hukum masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas, maka kemerdekaan yang diikrarkan pada tahun 1945 itu hanyalah slogan — bukan kenyataan.
Dilansir dari laman Penulis: Erfandi Editor: Redaksi.
Disampaikan dan diteruskan Oleh: Redaksi: Vibrasi News.com. IRHAMSYAH